LUKA DAN JENAKA PART 2


 LUKA DAN JENAKA

 PART 2

HARI INI SELALU BERKAITAN DENGAN PEREMPUAN

            Di depan pintu forum aku melihat seorang perempuan sedang tampak bingung, seperti sedang ragu untuk masuk ke dalam forum. Dan benar saja saat diskusi dimulai aku tak melihatnya di dalam forum. Tak ingin memikirkan hal yang aneh meskipun masih ingin tahu apa alasan perempuan tadi tidak masuk dalam forum dengan gestur tubuh panik menyertai. 

“Menurutku boleh saja seorang senior membuat hubungan untuk menarik perhatian kader baru agar mau masuk ke organisasi kita” imbuh bang Otung. Pendapat bang Otung di pertengahan diskusi membuat suasana menjadi serius, padahal jika ditilik dari tema yang diangkat seharusnya pembahasannya ringan saja seperti perkenalan antara senior dan junior.

“Loh itu namanya mempermainkan perasaan, itu sudah keterlaluan. Apa yang akan orang luar bicarakan tentang organisasi kita jika sewaktu-waktu banyak yang memberi bocoran tentang kelakuan kalian?” jawab bang Haris, ketua organisasi.

“Loh jangan sejauh itu, maksudnya sambil menyelam minum air, bro. Kalau memang ternyata nyaman ya syukur, dong.” Imbuh bang Otung memperkuat.

“Kalo enggak? Tinggalin? Itu bukan sifat organisasi manapun yang mencampur tangankan masalah pribadi dengan ranah organisasi” kata bang Haris.

“Coba disini ada perempuan yang setuju dengan bang Otung?” tanya bang Otung.

“Saya tidak, tapi apapun pendapat bang Otung kita tidak bisa menguasai perilakunya. Bisa saja di sini saya dan yang lain tidak setuju, tapi apakah di luar nanti bang Otung mendengarkan pendapat kita? Sepertinya tidak, jadi menurut saya sebagai perempuan jangan pernah masuk ke kandang yang sudah disiapkan, jika ujungnya yang akan kalian temui adalah buaya” tegasku.

“Jadi menurutmu semua yang ada di sini buaya? Bagaimana jika selain aku ada yang ingin mendekatimu? Kamu menganggapnya sama seperti aku?” tanya bang Otung mencoba memberi ilustrasi.

“Tentu tidak juga, hanya saja bersikap tidak terlalu berharap adalah awal yang baik untuk mengurangi sakit hati. Betul gak?”

“Ok, ada benarnya juga. Kalo begitu ada lagi yang ingin menambahkan? Silakan saya serahkan kembali kepada ketua” tutur bang Otung.

“Jadi intinya laki-laki berperan untuk tidak menjadikan perasaan perempuan sebagai survey perasaan pribadi, pun perempuan berperan sebagai kunci dalam perannya sendiri untuk mencegah dirinya terjebak harapan yang mula-mula hanya percobaan. Baik, forum kami tutup. Terimakasih atas partisipasinya hari ini, terutama untuk kader baru, selamat datang” tutup bang Haris atas diskusinya yang disambut kader lain atas selamatnya kader baru dalam Organisasi tersebut.

Tiba-tiba layar ponsel bang Otung berdering, tanpa disengaja aku sempat melihat foto dari nomer seorang yang meneleponnya. Rasa ingin tahuku menguasai diri, ditambah gugupnya bang Otung yang terpasang pada tangan yang sedikit gemetar dan alisnya yang jelas berubah mengerut. Seketika pandanganku buyar sesaat ketika suara Febby yang kala itu memanggilku untuk makan siang.

Mulai dari bintang di langit hingga bintang laut sudah rampung kubahas dengan teman baruku, Febby. Jika dikatakan teman yang baru kenal satu sama lain nampaknya salah, kita adalah sahabat lama yang tertunda oleh waktu, tak ada singgung-menyinggung yang membuat tak enak hati semuanya lepas saja. Disela-sela obrolanku dengan Febby aku teringat bang Otung kala ditelepon seseorang, namun akupun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, lebih baik kusimpan saja sendiri.

“Tadi katanya mau cerita bang Otung pas di forum”

“Enggak jadi deh, nanti aja. Abis ini mau kemana? Anterin aku nyari buku di Gramedia mau gak?”

Permintaanku pun diindahkan. Berjam-jam kami menyusuri rak buku selain untuk berburu buku incaranku juga ingin mampir-mampir saja pada buku lainnya.

Febby mengantarku pulang dengan motornya karena malampun sudah menyusul dengan waktunya yang tak terasa cukup singkat. Sesampainya di depan kost-ku, aku melihat seorang perempuan yang sama miripnya dengan yang ada dilayar telepon bang Otung saat ponselnya berdering, sedang duduk di pinggiran teras masjid samping kost yang ku tempati. Selepas Febby melayangkan pamitnya juga aku yang tak lupa berterimakasih atas hari itu, aku menuju masjid tempat perempuan tadi duduk.

“Mba, di dalam ada mukenahnya gak?” tuturku.

“Ada mba” sambil tersenyum perempuan tersebut menjawab.

Sebelumnya aku pernah sholat di masjid ini, aku bertanya demikian untuk mengawali perbincangan saja, terlebih aku bisa saja sholat di kost tapi rasa penasaranku membawaku ke tempat ini. Dengan pertanyaan penuh hati-hati diselimuti rasa canggung aku mulai pembicaraan.

“Mba ngekost di sini juga?”

“Iya, itu yang pagar merah” menunjuk kost tepat depan masjid, di kawasan tersebut memang banyak tempat kost berderetan.

“Oh, pantesan malam-malam masih di depan masjid, aku juga ngekost tapi di samping. Kapan-kapan mampir atuh mba hehe” tuturku mencoba ramah.

“Boleh mba?”

“Iya boleh dong. Panggil Vina aja, kamu siapa?”

“Riska, kita satu kampus kan? Aku di Universitas Pancakurawa” sambil mengulurkan tangan niat bersalaman.

“Iya sama, aku juga. Besok kalo mau nyari aku masuk aja biasanya ada ibu kost-ku kok nanti langsung nanya aja kamar Vina yang mana, aku sholat dulu ya”

“Iya kapan-kapan aku pasti main”

        Dari perubahan mimik wajah di awal hingga tawaranku untuk datang ke kost-ku seperti seorang yang sedang butuh teman. Entah memang dia sepertiku sebelum bertemu Febby, belum menemukan teman satu frekuensi, atau benar-benar sedang butuh tempat untuk bercerita tentang masalahnya. Sempat ingin kutanyakan tentang bang Otung, tapi apa pertanyaan yang tepat sedangkang aku menanyakannya karena secara tidak langsung sudah lancang mengintip ponsel pribadi bang Otung, meski tak disengaja dan bisa saja aku salah orang. Jadi ada apa dengan hari ini, aku merasa perempuan-perempuan yang kutemui hari ini seolah berkaitan satu sama lain, mulai dari perempuan yang membatalkan langkahnya masuk dalam forum diskusi, kemudian mimik tak biasa yang timbul dari bang otung saat menerima telpon dari seorang perempuan dan sekarang kejadian yang sangat tidak biasa untuk perempuan duduk di emperan masjid seperti ini, entahlah. Sepulang dari masjid aku bergegas menuju kost-ku untuk beristirahat setelah selesai membersihkan diri.

PART 3

SENYUM MENYAPA

“Omelet dua sama nasi ya bu. Minumnya es jeruk 2”

        Seraya menunggu pesanan datang, aku melihat 3 orang dengan jas almamater melewati area kantin, yang membuatku melirik penasaran adalah warna almamaternya berbeda dengan milik kampus kami. Dan benar saja, ternyata mereka dari kampus lain yang sedang berkunjung entah untuk apa. Beberapa menit kualihkan pandangan dengan mengobrol dengan Rehan tiba-tiba saja mereka yang beralmamater semakin mendekat. Ternyata salah satunya adalah laki-laki yang kulihat sedang jahil pada temannya saat di forum Literasi Mahasiswa Islam kemarin, kusebut saja mas Jenaka. Menunjukan bahwa dia bukan mahasiswa sini, memang LMI adalah organisasi eksternal yang artinya para anggotanya bisa dari luar kampus. Saat pandanganku terjaga hingga mulai dekat dengan objek, ternyata ia tersadar dan senyum ramah menyapa.

-BERSAMBUNG-

Mikrokosmos Afeksi

Blog ini berisi tatanan diksi yang bisa saja terdengar klise namun murni tercipta atas perasaan dan pikiran, serta menyajikan informasi umum yang dikembangkan oleh perspektif sang penulis.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama