LUKA DAN JENAKA
PART 3
SENYUM MENYAPA
Merekah indah fajar kala subuh. Seraya menengadah pada langit kututurkan pujianku pada alam semesta, pada Tuhan sang Pemiliknya. Tak ada satu keindahan yang mendamaikan hati selain pancaran hangat mentari menjelang pagi. Layaknya morning person yang selalu beraktivitas menyambut awal hari, rapih sudah aku, berniat berangkat kampus lebih awal. Tidak peduli akan masih sesepi apa, sambil bergegas ke arah kampus kulihat jam pada layar ponsel masih menunjukan angka 6.22 tanda masih sangat pagi, sedangkan subjek pertama dimulai pukul 7:15. Sesampainya di sana, benar saja gerbang baru dibuka oleh satpam penjaga kampus. Aku mulai memasuki kelas dan langsung mengeluarkan novel baru yang kubeli tadi malam bersama Febby.
Sunyi kelas yang masih berisi aku sendiri mula-mula menjadi ramai dengan kedatangan teman-teman. Aku masih santai melanjutkan membaca novelku. Pandangan seorang laki-laki dari samping kananku membawa ekor mataku melirik balik padanya.
“Kenapa?”
“Oh, gak. Itu novel bagus, aku pernah membacanya berulang. Kalo gak salah itu tentang…” belum selesai laki-laki tersebut bicara langsung kupotong.
“Aku baru baca, jangan spoiler dong, Re” tuturku memotong pembicaraan.
“Iya, sorry. Eh nanti istirahat mau ke kantin bareng gak?”
“Ok, boleh.”
Jam istirahat membawaku ke tempat ratusan mahasiswa dengan makanan favorit di mejanya masing-masing. Yup, seperti janjiku, aku tak sendiri, aku ditemani Rehan. Dia adalah teman satu jurusan, dia satu angkatan denganku tapi sepanjang jalan kita menuju kantin terdengar beberapa kakak tingkat memanggilnya, seterkenal itukah ini anak? Entahlah aku sungkan membahasnya.
“Mau makan apa, Vin? Biar aku pesenin.”
“Eh, gak usah aku pesen sendiri”
“Yaelah kaya ama siapa aja, lagian aku yang ngajak kamu kan”
“Yaudah samain aja, Re”
“Omelet dua sama nasi ya bu. Minumnya es jeruk 2” tutur Rehan kepada ibu kantin.
Apa yang saat itu ia rasakan? Adakah hal yang sama dengan yang kurasa? Adakah arti lain dari senyumnya atau hanya sapaan ramah karena kami adalah tuan rumah? Kutundukan pandanganku, bermaksud agar tak diketahui apa yang tengah terjadi didalam sana.
“Kamu kenal, Vin?” tanya Rehan setelah mereka berjalan melewati kita.
“Enggak, Re. Tapi yang paling depan tadi aku pernah liat di LMI”
“Kamu ikut LMI? Kegiatannya ngapain aja?”
“Aku sih baru ikut kemarin jadi belum terlalu tau menau, eh by the way, makasih ya teraktirannya hehe”
“Santai, Vin. Aku liat-liat kamu kok gak pernah ngobrol atau main bareng gitu sama anak kelas yang lain”
“Ngobrol mah ya ngobrol lah, Re. cuman kalo main iya sih gak pernah”
“Kenapa emang?” tutur Rehan penasaran.
“Ya, ngerasa gak cocok aja. Bukan karena merekanya, kayaknya emang akunya yang terlalu gak PD buat main ama mereka deh”
“Jangan gitu, Vin. Kurang-kurangin rasa insecure kamu”
Tak kujawab serius ucapan Rehan, karena memang mau bagaimanapun tetap tak bisa memaksakan ada di circle mereka. Untuk tetap berteman aku tak pernah membatasi, tapi untuk dijadikan lingkungan pertemanan yang akrab sepertinya aku berbeda visi misi saja. Terlebih mengenal Febby rasanya sudah cukup bagiku.
Jam makan siangpun berganti pada jam subjek terakhir di kelas hari ini, hingga sampailah pada salam penutup dari pak dosen. Masing-masing tas diangkat oleh pemiliknya, tak terkecuali aku. Keluar melewati parkiran yang jaraknya cukup dekat dengan gedung ruang kelasku, aku sendiri. Tanpa aba-aba perempuan berjilbab hijau sage mengagetiku.
“Sorry… sorry kaget ya?” sambil cekikikan.
Tatapanku mewakili kesalku saat itu.
“Wah ada orang ngambil motor tuh” berlaga seolah ada pencurian.
“Serius lo? Bukan motor gua kan?”
“Ya motor mereka masing-masinglah. Hahaha” tawaku puas membalas tingkah jail Febby.
Tawa 2 sahabat baru inipun beriringan dengan terik matahari siang itu. Suara motor dari arah belakangku tak terdengar lagi, nyatanya memang berhenti tepat di belakangku.
“Mba anggota LMI juga kan ya?” tanya laki-laki pengendara motor tersebut.
“Betul mas, ada apa ya?”
“Jdi gini mba, tadi HP ku ketinggalan di basecamp boleh telponin gak? Barangkali nanti ada yang ngangkat”
“Boleh ini pake HP-ku aja” jawabku sambil menahan gejolak yang timbul dari dalam sana. Siapa yang menyangka laki-laki tersebut adalah mas Jenaka yang kala ini menggenggam ponselku. Rasanya tubuh ini seringan kapas hingga melayang tak mengerti arah.
Selesai menghubungi nomor tujuan, ponsel kuambil dari uluran tangannya yang mengarah padaku.
“Makasih ya mba”
“Sama-sama, terus sekarang gimana?” tanyaku peduli
“Ini bang Otung lagi mau anterin ke sini” jawab mas Jenaka.
“Aku keluarin motor dari parkiran dulu ya, Vin” ucap Febby yang kuiyakan.
“Eh, kita belum kenalan. Mba namanya siapa?”
Sungguhkah pertanyaan ini bersumber padanya? Atau ilusi yang kubuat? Nyatanya memang dia masih menatapku menandakan sedang menungggu jawaban.
“Panggil aja Vina, mas siapa?”
“Gak usah panggil mas, Umay aja"
Percayalah menahan gejolak dari dalam susahnya sama seperti menahan tawa. Tapi aku tak mau kalah oleh perasaanku sendiri, adalah cuek dan merasa biasa saja yang kupasang pada mimik wajahku di depannya.
“Vin, mau bonceng gak?” ucap Febby dari kejauhan.
“Iya bentar Feb” balasku masih berdiri di depan Mas Jenaka “Umay, aku duluan ya” lanjutku berpamitan.
“Iya, hati-hati ya. Nomorku di-save, kan?"
“Ok, nanti aku save.” ucapku sambil bergegas mendekati Febby.
PART 4
MAS JENAKA
Ponselku tiba-tiba berbunyi, menampilkan pesan pada layarnya.
“Kampusmu enak juga ya, deket sama pantai. Ayo kapan-kapan main bareng kita” -MAS JENAKA.